Home

Minggu, 28 Oktober 2012

Seputar Budaya Kebatinan Jawa

Seputar Budaya Kebatinan Jawa




 Kebatinan dan Mistik,  Bagian dari Budaya Jawa

Suku Jawa merupakan populasi terbesar di Indonesia, yang mungkin komposisinya mencapai 40% - 50% dari total penduduk Indonesia. Masyarakat Jawa memiliki suatu budaya dan tradisi yang tersendiri, tetapi juga menjadi bagian, dan sekaligus memperkaya kehidupan beragama masyarakatnya. Dalam sejarahnya, kehidupan masyarakat Jawa, selain memiliki pandangan dan kebijaksanaan sendiri yang tercermin dalam budaya kejawen atau ke-jawa-an, dan dicerminkan dalam berbagai aliran kepercayaan, juga diisi pengaruh dari beragam agama, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Islam.
Dalam masa sekarang, populasi orang Jawa yang menjadi penganut agama Islam merupakan jumlah terbanyak. Mereka, dalam pandangan hidup kesehariannya, terbagi dalam 2 kelompok besar. Yang pertama adalah yang disebut putihan, yaitu kelompok masyarakat Jawa yang bersifat agamis, yang menjalankan aturan-aturan agama Islam yang dianutnya secara konsisten. Banyak dari mereka sejak mudanya belajar agama sebagai santri. Yang kedua adalah yang disebut abangan, yaitu bagian dari masyarakat Jawa, yang walaupun menjadi penganut Islam, mereka tidak agamis, tetapi tetap religius. Kadangkala terjadi semacam ‘konflik ideologi’, dimana kelompok putihan mencerca kelompok abangan yang dianggap tidak menjalankan agama Islam dengan benar.
Pihak abangan memandang agama Islam sebagai agama dan budaya bangsa Arab. Karena itulah mereka tidak sepenuhnya mengisi hati dan kehidupan mereka dengan “agama dan budaya Arab”  tersebut. Mereka memandang bahwa agama, ibadah, kepercayaan dan juga “akhlak” adalah masalah hati, batin, yang semuanya tidak harus tercermin dalam peribadatan yang murni Islam. Lagipula, manusia tidak dinilai hanya dari amal atau ibadahnya saja, tetapi juga dari akhlaknya. Karena itu ibadah mereka tidak harus semua tercermin seperti dalam peribadatan dan kepercayaan Islam. Ibadah mereka yang sesungguhnya ada di dalam hati. Walaupun mereka juga menjalankan peribadatan Islam, tetapi mereka juga memiliki ‘kebijaksanaan’ sendiri mengenai keTuhanan, yaitu kehidupan kepercayaan yang didasari pada nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan oleh para leluhur, dan diwarnai kebijaksanaan ajaran para pendahulu yang tercermin dalam penghayatan tradisi-tradisi tertentu, legenda-legenda, filosofi dalam cerita pewayangan, dan sebagainya, yang semuanya menyatu di dalam hati menjadi kepercayaan dan budaya jawa, yang mengisi hidup mereka.
Kebatinan Jawa pada dasarnya adalah pemahaman dan penghayatan kepercayaan manusia Jawa terhadap Tuhan, yang kemudian diajarkan turun-temurun menjadi tradisi dan warisan budaya leluhur sejak jaman kerajaan purba, jauh sebelum hadirnya agama Hindu-Budha dan Islam di pulau Jawa. Penghayatan keTuhanan itu bukanlah agama. Agama bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Agama Hindu dan Budha yang telah lebih dulu masuk ke Jawa telah diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa dan mewarnai sikap kebatinan Jawa, karena memiliki banyak kesamaan dengan spiritualisme Jawa.
Kebatinan Jawa (Kejawen) pada dasarnya adalah sebuah kepercayaan ketuhanan, bukan agama, dan kepercayaan ketuhanan kejawen itu tidak membutuhkan kitab suci, karena pendekatan mereka kepada Tuhan dilakukan secara langsung dan pribadi, dengan rasa, dengan batin, tidak mendasarkan diri pada ajaran sebuah kitab suci. Dan pengertian umum Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konsep kejawen adalah hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung dan pribadi, melalui olah rasa dan batin, manusia berusaha mengenal Tuhan dan menyatu secara langsung, tidak melalui nabi-nabi seperti halnya agama modern.
Dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan antara agama modern dengan ketuhanan kejawen. Penganut agama modern menggunakan ajaran-ajaran dalam kitab sucinya sebagai sumber pengetahuan mereka tentang Tuhan dan menjadi acuan peribadatan mereka. Semua keharusan dan larangan di dalam kitab suci harus dipatuhi, menjadi dasar peribadatan yang tidak boleh dilanggar. Pengenalan dan pengetahuan mereka tentang Tuhan umumnya hanyalah sebatas apa yang sudah tertulis dan diajarkan dalam kitab suci dan agama mereka saja, tidak lebih, dan tidak boleh menyimpang dari itu, yang kemudian banyak memunculkan dogma dan doktrin dan pengkultusan tentang Tuhan, tentang pahala dan dosa, surga dan neraka, sehingga menjadi umum bahwa kemudian mereka akan meninggikan agama dan kitab suci mereka, bahkan mempertuhankannya, lebih daripada mereka mempertuhankan Tuhan. Sedangkan penganut ketuhanan kejawen berusaha menyelaraskan kehidupan mereka sesuai penghayatan ketuhanan mereka masing-masing untuk mendapatkan jalan menuju Manunggaling Kawula Lan Gusti.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Budha, Islam, atau Kristen. Perilaku ini dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang mereka terhadap perkembangan zaman. Prinsipnya, yang baik diambil, yang jelek dibuang. Penerimaan Jawa terhadap nilai-nilai yang datang dari luar diposisikan sebagai ‘baju’, isinya tetap Jawa. Agama bisa apa saja, tetapi masyarakat Jawa mempunyai penghayatan sendiri tentang Tuhan. Maka selalu ada perbedaan yang signifikan antara Hindu Jawa dan Budha Jawa dengan yang asli di India, dan Islam Jawa dengan yang asli Arab.
Budaya kebatinan Jawa, pada prakteknya, selain berisi ajaran-ajaran budi pekerti dan ketuhanan, juga diwarnai dengan ritual-ritual kepercayaan dan ritual-ritual yang berbau mistik. Selain itu juga dihasilkan produk-produk kebudayaan Jawa, yang merupakan bagian dari budaya kepercayaan Jawa, seperti keris, wayang, tari-tarian, pencak silat, aliran kebatinan, ritual selametan, ruwatan, sedekah bumi, dsb.
Kejawen atau Kejawaan (ke-jawi-an) dalam pandangan umum berisi kesenian, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi tradisional orang-orang Jawa. Kejawen juga mencerminkan spiritualitas orang Jawa. Penganut ajaran kejawen tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian formal seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku dalam upaya mendekatkan diri dan menyelaraskan hidup mereka dengan Tuhan, menjalankan “laku” untuk pencerahan cipta, budi, rasa dan karsa. Ajaran kejawen tidak terpaku pada aturan yang formal seperti dalam agama, tetapi menekankan pada konsep “keselamatan dan keberkahan hidup”.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti 'memuliakan' pusaka beserta sesajinya, pertunjukan wayang, pembacaan doa, penggunaan bunga-bunga tertentu sebagai sesaji, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan mistik.
Kejawen adalah kearifan lokal yang mengarahkan kesadaran pada kesejatian diri masing-masing manusia, pengenalan diri pada kehidupan, dan menghidupkan kembali kesejatian yang ada dalam diri manusia. Kejawen adalah budaya kebatinan dan spiritualitas berkenaan dengan keTuhanan dan budi pekerti. Agama bisa apa saja menurut keyakinan iman masing masing. Tetapi budi pekerti selayaknya menjadi acuan perilaku orang jawa, jangan ditinggalkan. Jangan sampai orangnya beragama dan agamis, tapi perilakunya tidak berbudi pekerti, jauh dari perilaku mulia, apalagi berakhlak mulia. Jangan menjadi orang jawa yang hilang jawa-nya.
Secara kebatinan dan spiritual, mereka percaya bahwa kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara, yang pada akhirnya nanti akan kembali lagi kepada Sang Pencipta.  Manusia, bila hanya sendiri dan dengan kekuatannya sendiri, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana. Karena itulah manusia harus menyelaraskan diri dengan kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (roh-roh dan Tuhan), beradaptasi dengan lingkungan alam yang merupakan rahmat dari Tuhan dan memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Kepercayaan kepada roh-roh dan Tuhan ini seringkali dikonotasikan sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme, yang kontras dengan ajaran agama.
Mereka terbiasa hidup sederhana dan apapun yang mereka miliki akan mereka syukuri sebagai karunia Allah. Mereka percaya adanya 'berkah' dari roh-roh, alam dan Tuhan, dan mereka percaya bahwa kehidupan mereka akan lebih baik bila mereka 'keberkahan'.  Karena itu dalam budaya Jawa dikenal adanya upaya untuk selalu menjaga perilaku, kebersihan hati dan batin dan laku-laku prihatin dan tirakat dan berbagai ritual untuk menjaga supaya hidup mereka selalu diberkahi, seperti ritual Puasa Mutih, Puasa Senin-Kamis, Puasa Weton, ritual Sedekah Bumi, Selametan, Syukuran, Ruwatan, ziarah ke makam keluarga dan leluhur, "memuliakan" pusaka yang dimiliki, memberi sesaji kepada roh-roh tertentu di sekitar rumah tinggal, dsb, yang terkesan pada masa sekarang sebagai perilaku mistik dan klenik.
Berbagai perbedaan inilah yang menyebabkan kaum putihan mencela kaum abangan sebagai penganut kepercayaan yang sesat, penuh mitos dan mistik, dan politheis. Tetapi di sisi lain, pihak putihan juga tidak konsisten dengan kemurnian agama mereka, karena mereka juga ikut meramaikan ritual-ritual pihak abangan, seperti acara Gerebek Maulud dan Sekatenan, Kirab Pusaka, Selametan, Syukuran, Sedekah Bumi, ziarah kubur, dsb. Sebagian dari mereka juga menjalani kebatinan, keilmuan dan laku prihatin, yang kemudian diajarkan dan diadaptasikan menyatu menjadi ajaran budaya Islam, yang aslinya tidak ada dalam budaya Islam Arab.


 Budaya Kebatinan melandasi perbuatan yang bermoral.

Dalam budaya kejawen, kebijaksanaan kebatinan menyebabkan perilaku manusia jawa tidak melulu mengejar kekayaan dan kebendaan dalam hidupnya. Mereka lebih mengejar ketentraman hidup, rasa cukup dan mensyukuri hidup, hubungan sosial yang harmonis dan membangun aspek spiritualitas dalam diri. Keseimbangan, keselarasan, keharmonisan.
Secara mistis, kebatinan dan spiritual, dipahami bahwa kehidupan manusia di alam ini hanyalah sementara, yang pada akhirnya nanti akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Manusia, bila hanya sendiri, adalah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, lemah dan fana. Karena itulah manusia harus bersandar kepada kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi (roh-roh dan Tuhan), beradaptasi dengan lingkungan alam yang menjadi rahmat Tuhan bagi mereka dan memeliharanya, bukan melawannya, apalagi merusaknya. Lebih baik untuk menjaga sikap dan tidak membuat masalah. Memiliki sedikit lebih baik, daripada berambisi mencari ‘lebih’. Sehingga idealisme kebatinan menuntun manusia pada sikap menerima, sabar, rendah hati, sikap tahu diri dan kesederhanaan, sifat-sifat luhur yang harus dimiliki oleh manusia dalam hidupnya. Idealisme inilah yang menjadikan manusia hidup tenteram dan penuh syukur kepada Tuhan.
Kontras sekali dengan perilaku dan motivasi manusia sekarang, yang walaupun tetap tekun beribadah formal, tetapi penuh ambisi dan hidupnya melulu dipenuhi hasrat kebendaan, kesenangan dan kemewahan, yang menjadikan manusia jauh dari rasa cukup dan bersyukur dan seringkali menyebabkan manusia melakukan perbuatan-perbuatan tercela untuk memenuhi keinginan-keinginannya.
Orang Jawa yang memegang teguh penghayatan kearifan kejawen, apapun agama yang mereka anut, di dalam kehidupannya sehari-hari akan selalu mengedepankan sikap arif bijaksana, perilaku yang berbudi pekerti dan keharmonisan hubungan dengan semua mahluk. Sedapat mungkin akan dihindarinya perilaku yang fanatis agamis, tetapi dalam perbuatan-perbuatannya tidak mencerminkan manusia yang berbudi pekerti dan berakhlak mulia.



 Degradasi Budaya Kebatinan Jawa.


Manusia Jawa di dalam kehidupan kejawaannya sehari-hari sejak dulu sampai sekarang sudah terbiasa untuk menerima dan beradaptasi dengan budaya-budaya / pandangan / pemikiran-pemikiran baru. Sebagian besar, sikap adaptif tersebut berguna untuk menambah khasanah kebudayaan jawa dan wawasan berpikir masyarakat dalam menjalani kehidupan yang selalu penuh perubahan mengarah pada kehidupan modern. Di sisi lain, sikap adaptif tersebut membuat kecenderungan bagi para anak muda dan generasi berikutnya untuk meninggalkan cara hidup lama kepada model kehidupan yang baru. Sedikit demi sedikit, tetapi pasti, simbol-simbol budaya jawa mulai ditinggalkan, digantikan dengan simbol-simbol budaya yang baru. Tontonan wayang sudah mulai berkurang peminatnya, digantikan tontonan film dan sinetron. Kehidupan religius sudah mulai berganti menjadi kehidupan agamis dan fanatis. Kehidupan harmonis dan saling menghormati di masyarakat mulai berganti menjadi kehidupan individualis dan kelompok-kelompok agamis, yang sebagiannya berseteru dan menghakimi kelompok yang lain.

Bangsa ini sekarang terhimpit secara multi-dimensi oleh kebudayaan asing, Arab, Amerika, Eropa, Jepang, Cina, dst. Dengan halus tapi mengena, mass media, secara langsung maupun tidak langsung, telah digunakan untuk membunuh karakter budaya Jawa dan meninggikan karakter budaya Arab (lewat agama) dan budaya barat (lewat film dan teknologi).  Hal-hal yang berbau mistik dan keris sering dikonotasikan sebagai hal negatif.  Hal-hal yang berkenaan dengan kebaikan dan kesucian disimbolkan dengan pakaian putih keagamaan dari Timur Tengah / Arab. Kebatinan jawa dikonotasikan negatif, digantikan keilmuan agamis yang dianggap halal. Barang-barang konsumtif dan yang berteknologi modern juga membanjiri pasar.

Kepribadian masyarakat Indonesia saat ini sedang keruh, menjadi ajang pertempuran antara dua ideologi besar dunia: Barat dan Timur Tengah, antara kaum sekuler dan kaum agamis, antara modernitas dan kekolotan agama. Uang dan fanatisme agama mempercepat krisis kebudayaan Jawa dan Indonesia pada umumnya. Hidup beragama pun terkesan jauh dari nalar bijak, jauh dari cerdas, dan banyak yang memberi kesan hanya mengejar formalitas kewajiban agama saja. Dualisme kepribadian terlihat kontras. Di satu sisi sangat agamis, penuh slogan moral dan iman, di sisi lain penuh kekerasan, kriminalitas tetap banyak terjadi, sinetron dan film-film manusia berbusana minim juga tetap disukai.

Tanpa harus meniru / menjiplak kebudayaan Arab, Indonesia diperkirakan dapat menjadi pusat Islam yang modern (center of excellence) bagi dunia. Seperti pusat agama Kristen modern, yang tidak lagi di Israel, melainkan di Italia, Eropa dan Amerika. Beragama tidak harus menjiplak kebudayaan asal agama, dan tidak perlu mengorbankan budaya dan kearifan lokal. Beragama tanpa nalar disertai menjiplak budaya agama secara membabi-buta hanya akan mengakibatkan kemunduran jati diri bangsa. Maka bijaksana, kritis, dan cerdik sangat diperlukan dalam beragama supaya tetap terjaga perilaku yang selaras dengan keluhuran budi bangsa.


------------------------


            www.nur-maunah.blogspot.com


Silakan kirimkan via email ke: hikmatul.ilmi@gmail.com untuk menyampaikan pendapat / komentar dan cerita-cerita atau pengalaman anda untuk dapat dimuat di forum ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar